LAPORAN RESMI
PRAKTIKUM EKOLOGI PERAIRAN TROPIS
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
I.
PENDAHULUAN
1.1.
Latar belakang
Ekologi merupakan gabungan dari faktor-faktor
fisik, kimiawi, serta biologis. Semua itu dapat mempengaruhi berlangsungnya
kehidupan, pertumbuhan, perkembangan, reproduksi, kesejahteraan manusia beserta
organisme hidup lainnya. Lingkungan hidup tidak bisa dilepaskan begitu saja
dari peran dan pengaruh dominan manusia, oleh karena itu jika dibiarkan begitu
saja maka akan berakibat fatal bagi kelestarian alam. Kemajuan hasil teknologi
dapat membawa kesejahteraan manusia, tetapi jika kemajuan tersebut tanpa diikuti
oleh kesepadanan tempat hidup seluruh makhluk hidup maka akan merusak
kelestarian dari lingkungan yang ada. Berawal dari keadaan tersebut, maka
sangatlah perlu untuk mempelajari dan mengetahui hubungan antara faktor-faktor
yang mempengaruhi lingkungan, sehingga tercipta lingkungan yang seimbang,
serasi, dan harmonis.
Ilmu ekologi bukan hanya untuk mencari pola kehidupan secara kuantitatif tetapi
juga berusaha mencari jawaban atas masalah kuantitatif, misalnya berapa volume
air yang digunakan dalam pemeliharaan ikan patin agar dapat tumbuh dengan
optimal, oleh sebab itu ekologi biasa didefinisikan sebagai ilmu
yang mempelajari interaksi antara makhluk hidup dengan lingkungannya.
Pengetahuan mengenai ekologi selain diperoleh
di kampus melalui metode pembelajaran dan diskusi juga dapat diimbangi dengan praktikum. Pelaksanaan praktikum ini diharapkan dapat mendukung kegiatan perkuliahan sehingga dalam mendalami ilmu ekologi perairan mahasiswa dapat menerima materi secara mantap dan sesuai dengan apa
yang diharapkan.
Konsep ekosistem merupakan suatu yang luas, karena di dalamnya terjadi hubungan timbal balik dan
saling ketergantungan antara komponen-komponen penyusunnya, yang membentuk
hubungan fungsional dan tidak dapat dipisahkan. Di dalam sebuah ekosistem
terjadi transfer energi antara komponennya yang bersumber dari sinar matahari melalui
proses fotosintesis yang dilakukan oleh tumbuhan hijau berklorofil. Makhluk
hidup lain yang tidak memiliki kemampuan berfotosintesis, menggunakan energi
matahari ini dengan cara mengkonsumsi makhluk fotosintesis tersebut
diatas. Dan begitu selanjutnya sehingga
terbentuk suatu rantai makanan (Nontji,2005).
1.2. Pendekatan Masalah
Kualitas
air sangat penting, tidak hanya untuk ikan tetapi untuk semua kehidupan yang ada di dalam perairan. Pengaruh kualitas air juga penting dipandang dari segi besarnya produksi perairan. Kualitas air mempunyai peranan yang berbeda dalam perikanan,
dibandingkan dengan peranannya dalam budidaya. Peranan alami,dari kualitas
air kehidupan masing-masing individu dalam suatu komunitas mempunyai peranan
yang sangat penting di dalam pembentukan struktur komunitas tersebut (Cahyono, 2000).
Menurut Lesmana (2001), menyatakan bahwa karakteristik fisika dan kimia dari
air sangat berpengaruh pada kehidupan akuatik. Karakteristik yang meliputi suhu, pH, kecerahan, kedalaman, debit
air, kesadahan, alkalinitas, kandungan CO2, kandungan O2,
dan produktivitas perairan merupakan faktor-faktor yang perlu dikaji serta diteliti lebih lanjut agar dapat diketahui nilai-nilai dari parameter tersebut. Manfaat mempelajari parameter-parameter di atas yaitu kita dapat mengetahui
proses fisika, biologi dan kimia dalam ekosistem yang kemudian dapat diambil kesimpulan tentang kondisi ekosistem tersebut.
Keadaan lingkungan
sungai dipenuhi oleh adanya sampah.
Sampah didalam sungai dapat menyebabkan permasalahan bagi keadaan biota yang
ada didalamnya dan juga sampah tersebut dapat hanyut hingga sampai ke ekosistem
perairan muara yang nantinya juga akan terbawa arus ke dalam laut pengelolaan.
Perairan tambak kualitas airnya juga terpengaruh oleh adanya sampah. Kegiatan
manusia yang terdapat di sekitar daerah aliran sungai dapat mempengaruhi
penurunan kualitas air. Penurunan kualitas air perlu diwaspadai sehingga
diperlukan pengamatan karakteristik kualitas air yang nantinya diharapkan
kedepannya diperoleh suatu rumusan bentuk rekomendasi.
1.3.
Tujuan
Tujuan diadakannya praktikum ekologi perairan adalah sebagai berikut
:
a.
Mengetahui
biota penyusun pada ekosistem pantai, sungai, muara dan tambak;
b. Untuk
mengetahui keterkaitan antar parameter pada ekosistem tambak, sungai, muara dan
pantai
c.
Mengetahui
kelayakan ekosistem pada ekosistem tambak, sungai, muara dan pantai.
1.4.
Waktu dan tempat
Praktikum mata kuliah Ekologi Perairan dilaksanakan pada
hari sabtu sampai hari minggu tanggal 8 – 9 November 2012. Praktikum
lapangan dilaksanakan di TPI Mangkang
Kulon, Semarang, identifikasi biota dan pengolahan data dilaksanakan di Gedung C303, dan sidang dilaksanakan di
ruang sidang gedung C Jurusan Perikanan Universitas Diponegoro, Tembalang,
Semarang.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Parameter fisika
2.1.1. Kecerahan
Kecerahan
air dalam kolam pemeliharan ikan juga mempengaruhi hidup dan perkembangan ikan.
Air yang keruh tidak baik untuk budidaya sebab menghambat cahaya matahari untuk
menembus ke dasar kolam. Kekeruhan antara lain disebabkan oleh lumpur dan jasad
renik. Kekeruhan air yang disebabkan oleh lumpur dapat diatasi dengan pembuatan
kolam pengendapan atau kolam dibuat zig-zag pada saluran masuk utama atau
inlet (Susanto, 1986).
Kandungan
padatan tersuspensi dalam air juga dapat mengakibatkan panyakit pada ikan,
menyebabkan terganggunya pertumbuhan ikan. kekeruhan juga berpengaruh terhadap
daya pandang ikan, sehingga menyebabkan pakan tidak termakan. Kekeruhan dibawah
100 mg/l dapat ditolerir oleh sebagian besar spesies ikan (Rejeki, 2001).
Kekeruhan disebabkan oleh padatan organik atau anorganik yang terlarut dalam
air, sebagai akibat erosi
dari tanah, limbah pertambangan, buangan limbah rumah tangga, serta berbagai
limbah industri lainnya. Beberapa padatan terlarut tersebut dapat bersifat racun,
misalnya garam-garam logam. Limbah organik juga mengakibatkan
penurunan oksigen (Susanto,
1986).
2.1.2. Kedalaman
Fitoplankton
dalam melakukan fotosintesis membutuhkan sinar
matahari, penyinaran cahaya matahari akan berkurang secara cepat sesuai dengan
makin tingginya kedalaman suatu perairan tersebut, oleh sebab itu fitoplankton sebagai produsen primer
hanya didapat pada daerah atau kedalaman dimana sinar matahari masih dapat
menembus badan perairan. Sinar matahari yang masuk ke laut akan
semakin berkurang energinya karena diserap (absorbsi) dan disebarkan (scattering) oleh molekul-molekul di laut,
selain berkurang energinya, sinar
matahari yang masuk akan mengalami pula perubahan kualitas dalam komposisi
spektrumnya (Hutabarat dan Evans, 1985).
Kedalaman
yang ideal untuk kolam-kolam pemeliharaan ikan adalah 60 – 150 cm. Semakin dalam dasar kolam
permukaan air di kolam tersebut, maka semakin luas ruang gerak ikan. Salah satu
pertimbangan dalam menentukan kedalaman suatu kolam, yaitu kemampuan sinar
matahari untuk menembus ke dasar kolam (Susanto,
1986).
2.1.3. Arus
Arus merupakan
gerakan mengalir suatu massa air yang dikarenakan tiupan angin atau perbedaan
densitas atau pergerakan gelombang panjang. Pergerakan arus dipengaruhi oleh
beberapa hal antara lain arah angin, perbedaan tekanan air, perbedaan densitas
air, gaya coriolis dan arus ekman, topografi dasar laut, arus
permukaan, upwelling, downwelling. Arus
atau aliran air adalah parameter fisika yanng dapat dijadikan pembeda beberapa
ekosistem perairan tawar. Perbedaan utama ekosistem lotik dan lentik adalah
arus. Arus adalah pergerakan massa air secara
vertikal dan horizontal, atau gerakan air yang sangat luas yang terjadi di
seluruh lautan dunia (Hutabarat dan Evans, 1986).
Kecepatan
arus baik langsung maupun tidak langsung mempengaruhi substrat dasar yang
merupakan faktor yang menentukan komunitas bentos. Secara langsung arus air
akan menambah jumlah oksigen dalam air
dan mengurangi susunan partikel dasar sungai yang merupakan faktor yang
menentukan komposisi bentos. Selain itu arus juga dapat mengakibatkan kerusakan
jaringan tubuh hewan makrobenthos, namun juga dapat membantu ketersediaan
bahan-bahan makanan yang dibutuhkan dan membantu penyebaran larva hewan-hewan
makrobenthos (Arie, 2000).
2.1.4. Suhu
Suhu merupakan kapasitas panas, dimana penyebaran
suhu dalam perairan terjadi karena adanya penyerapan dengan angin. Perubahan suhu sangat mempengaruhi proses
metabolisme dan kisaran suhu yang diperlukan untuk proses pembenihan ikan
adalah antara 25 – 30oC. Suhu
air mempengaruhi kandungan oksigen terlarut dalam air. Semakin tinggi suhu,
maka semakin kurang kandungan oksigen terlarut.
Sebagai tolak ukur setiap kenaikan suhu 1ºC, membutuhkan kenaikan oksigen
terlarut 10% (Sutisna dan Sutarmanto, 1995).
Setiap ikan mempunyai temperatur tertentu untuk mempertahankan pertumbuhan
agar tetap normal di luar kisaran temperatur tersebut. Ikan akan mengalami
gangguan, sehingga perlu melakukan adaptasi agar dapat mempertahankan pertumbuhannya
agar tetap normal. Setiap temperatur tinggi, ikan akan kekurangan
oksigen dan sistem enzim tidak dapat berfungsi dengan baik, menyebabkan
timbulnya stres. Penyakit ikan dapat berkembang dengan
cepat, sehingga ikan mudah terserang penyakit jika konsentrasi oksigen dalam air rendah atau suhu air terlalu tinggi,
sering terlihat ikan menjadi aktif
berenang di permukaan air, tentu saja kondisi semacam ini kurang baik, sehingga perlu segera diatasi
dengan melakukan pergantian air (Effendi, 2003).
2.2. Parameter kimia
2.2.1. Derajat keasaman (pH)
Kolam budidaya, fluktuasi pH sangat
dipengaruhi oleh respirasi, karena berhubungan dengan CO2 yang
dihasilkannya. Kolam yang
banyak dijumpai algae dan tumbuhan
lain pH air pada pagi hari mencapai 6,5 sedangkan pada sore hari mencapai 8,9.
Hubungan antara CO2 dengan pH bersifat berbanding terbalik. CO2
tinggi, maka pH akan cenderung rendah (Effendi, 2003).
Nilai derajat keasaman (pH) perairan
cocok untuk budidaya ikan Nila
berkisar 7,5 – 8,5. Nilai pH 6,5 – 9 masih dikategorikan baik untuk memelihara
ikan. Perairan dengan pH 4
sudah terlalu asam bagi ikan sehingga dapat membunuh ikan. Perairan yang memiliki pH 11, air terlalu
alkali sehingga juga dapat membunuh ikan. pH air dapat diukur dengan beragam alat misalnya kertas lakmus (Hutabarat
dan Evans, 1986).
2.2.2. Salinitas
Salinitas
digunakan untuk memperbandingkan kepekatan garam-garam dalam air alam.
Salinitas adalah banyaknya garam dalam air yang dikandung dalam 1 kg air laut,
setelah bromida dan iodida diubah menjadi klorida, karbonat menjadi oksida dan zat-zat organik
dirusak dengan pemanggangan air laut. Kloronitas ditetapkan dengan mengasamkan
air alam itu dengan asam nitrat encer dan kemudian menitrasinya larutan nitrat.
Pada umumnya berlaku salinitas=1,805 kloronitas + 0,03 satuan btr (bagian tiap
ribu), yaitu satu bagian gram per 1000 bagian air . Pada perairan,
salinitas didominasi oleh garam dari Cl (NaCl, KCl dan NH4Cl).
Beberapa cara mengukur salinitas adalah dengan titrimetrik, pengukuran rapatan
dengan densitometer, pengukuran indeks bias dengan refraktometer dan dengan
salinometer yang bekerja berdasar daya hantar listrik. Salinitas air laut ±35
btr atau 3,5% atau lebih sering ditulis 35 ppt (Dahuri, 1996).
Menurut
Rososoedarmo (1993),
menyatakan bahwa hampir semua organisme hidup pada daerah yang mempunyai perubahan salinitas
yang sangat kecil. Daerah estuarin adalah suatu daerah dimana kadar
salinitasnya berkurang karena adanya sejumlah air tawar yang masuk yang berasal
dari sungai-sungai dan juga disebabkan oleh terjadinya pasang surut. Salinitas
bersifat lebih stabil di lautan terbuka, walau di beberapa tempat menunjukkan
adanya fluktuasi perubahan. Salinitas permukaan
di perairan Laut Mediterania dam Laut Merah mencapai 39 – 41 ppt, disebabkan banyaknya air yang hilang akibat
besarnya penguapan yang terjadi pada waktu musim panas panjang, sebaliknya
salinitas turun tajam disebabkan oleh besarnya curah hujan.
2.3.
Parameter Biologi
2.3.1. Makrozoobentos
Banyaknya kadar oksigen terlarut di suatu perairan maka perairan
tersebut merupakan habitat yang baik untuk biota-biota yang hidup, sehingga
nilai indeks keanekaragaman spesiesnya tinggi. Semakin tinggi nilai indeks
keanekaragam berarti semakin banyak spesies yang hidup di perairan tersebut. Indeks keanekaragaman (H’) menggambarkan keanekaragaman,
produktivitas, tekanan pada ekosistem, dan kestabilan ekosistem. Tolak ukur
indeks keanekaragaman tersaji pada nilai
tolak ukur indeks keanekaragaman sebagai berikut, jika H’ < 1, keanekaragaman rendah, miskin,
produktivitas sangat rendah sebagai indikasi adanya tekanan yang berat dan
ekosistem tidak stabil; jika 1 < H’ < 3,322, keanekaragaman sedang, produktivitas cukup,
kondisi ekosistem cukup seimbang, tekanan ekologis sedang dan jika H’ > 3,322 keanekaragaman tinggi,
stabilitas ekosistem mantap, produktivitas tinggi, tahan terhadap tekanan
ekologis (Odum, 1993).
Keanekaragaman jenis terbesar jika
semua individu berasal dari jenis yang berbeda-beda dan keanekaragaman jenis
mempunyai nilai terkecil atau sama dengan nol jika semua individu berasal dari
satu jenis. Nilai indeks keanekaragaman yang tinggi berarti juga sebagi
indikator bahwa perairan tersebut belum tercemar karena banyak organisme yang dapat
hidup di perairan tersebut sedangkan indeks keseragaman merupakan gambaran secara
sitematika tentang jumlah dan organisme yang menghuni suatu komunitas atau
habitat tertentu. Nilai keseragaman dipengaruhi oleh kelimpahan setiap spesies.
Semakin kecil indeks keseragaman suatu komunitas didominasi oleh satu spesies
tertentu (Nybakken, 1992).
Suatu perairan yang
memiliki parameter fisika, kimia dan biologi yang baik akan memiliki tingkat
keanekaragaman, keseragaman dan kelimpahan yang tinggi, karena pada kondisi tersebut
cocok bagi kelangsungan organisme. Nilai indeks keseragaman jenis berkisar
antara 0 – 1, jika nilai tersebut semakin kecil maka semakin rendah pula
kesaman jenis dalam komunitas tersebut. Hal ini memberikan indikasi bahwa
penyebaran jumlah individu setiap jenis tidak sama dan kecenderungan didominasi
oleh jenis tertentu, sebaliknya semakin besar nilai keseragamanya, maka
menunjukkan kesamaan jenis yang besar, yang berarti kelimpahan relatif dari
setiap jenis dapat diakatakan sama dan kecenderungan didominasi oleh jenis tertentu
kecil. Kemiripan merupakan gambaran secara sistematika tentang kesamaan jenis
diantara 2 komunitas. Antara satu komunitas dengan komunitas yang lainya akan
mempunyai keseragaman yang berbeda-beda. Jika ada dua komunitas yang memiliki
cirri dan sifat yang sama maka ada kecenderungan kedua komunitas tersebut
mempunyai indeks kemiripan. Contohnya komunitas sungai dan komunitas muara, sebaliknya
jika kedua komunitas yang memiliki ciri atau sifat yang berbeda maka indeks
kemiripan tidak ada atau kecil (Odum, 1993).
2.3.2.
Vegetasi
Hutan
mangrove di Indonesia memiliki keragaman jenis yang tinggi. Tidak kurang dari 202 spesies tumbuhan tercatat hidup di sini, 89
jenisnya berupa pohon. Sementara itu,
dari sekitar 60 spesies mangrove sejati yang dikenal dunia, sebanyak 43 spesies
didapati di Indonesia (Noor, 1999).
Jenis-jenis
tumbuhan hutan bakau bereaksi berbeda terhadap variasi-variasi lingkungan fisik
di habitatnya, sehingga memunculkan zona-zona vegetasi tertentu. Beberapa
faktor lingkungan fisik tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Jenis substrat
Substrat di
pesisir bisa sangat berbeda karena sebagai pengendapan. Yang paling umum adalah
hutan bakau tumbuh di atas lumpur tanah liat bercampur dengan bahan organik.
Akan tetapi di beberapa tempat, bahan organik ini sedemikian banyak
proporsinya; bahkan ada pula hutan bakau yang tumbuh di atas tanah bergambut.
Substrat yang lain adalah lumpur dengan kandungan pasir yang tinggi, atau
bahkan dominan pecahan skarang, di pantai-pantai yang berdekatan dengan terumbu
karang.
2.
Terpaan ombak
Bagian luar atau bagian depan hutan bakau yang
berhadapan dengan laut terbuka sering harus mengalami terpaan ombak yang keras
dan aliran air yang kuat. Tidak seperti bagian dalamnya yang lebih tenang. Bagian
yang agak serupa adalah hutan yang
berhadapan langsung dengan aliran air sungai, yakni yang terletak di tepi
sungai. Perbedaan-nya, salinitas di tepi aliran sungai tidak begitu tinggi,
terutama di bagian-bagian yang agak jauh dari muara.
3.
Penggenangan oleh air
pasang
Bagian luar
hutan bakau juga mengalami genangan air pasang yang paling lama dan paling
dalam dibandingkan dengan bagian yang lainnya; bahkan terkadang terus menerus
terendam. Sementara itu, bagian-bagian di pedalaman hutan bakau mungkin hanya
terendam air laut sekali dua kali dalam sebulan manakala terjadi pasang
tertinggi. Menghadapi variasi-variasi kondisi lingkungan seperti ini, secara
alami terbentuk zonasi vegetasi mangrove; yang biasanya berlapis-lapis mulai
dari bagian terluar yang terpapar gelombang laut, hingga ke bagian pedalaman
yang relatif kering.
I. MATERI DAN METODE
3.1. Materi
3.1.1. Alat
Alat-alat
yang digunakan dalam praktikum ekologi perairan tropis adalah sebagai berikut;
secchi disc dengan ketelitian 1 cm
untuk mengukur kecerahan dan kedalaman, termometer air raksa berjumlah 2 untuk
mengukur suhu udara dan suhu air, bola arus untuk mengukur kecepatan arus, stopwatch untuk mengukur lama waktu
dalam pengukuran kecepatan arus, pipet tetes untuk mengambil larutan dalam
jumlah sedikit, refraktometer dengan ketelitian 1‰
untuk mengukur salinitas, tisu gulung untuk mengeringkan dan membersihkan alat,
kantong plastik untuk mengambil air sampel, kertas label untuk memberi tanda
pada pipet dan kantong plastik air sampel, saringan sebagai alat penyaring
biota, cetok pasir untuk mengambil substrat dasar, nampan sebagai tempat
meletakkan biota, dan kertas pH universal untuk mengukur pH.
3.1.2.
Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum ekologi perairan tropis adalah sebagai berikut;
akuades untuk mengkalibrasi refraktometer, air sampel dari empat ekosistem
untuk pengukuran pH dan salinitas, dan biota sampel untuk sampel pengamatan.
3.2. Metode
3.2.1.
Parameter Fisika
a.
Kecerahan
Pengukuran
kecerahan menggunakan secci disk,
dimana secci disk dimasukkan kedalam
perairan sampai pada titik hilang (tidak nampak). Kemudian mengangkat secara
perlahan-lahan sampai ditemukan titik tampak (remang-remang) serta diukur jarak
keduanya. Pencatatan hasilnya dilakukan pada titik tidak tampak dan titik
tampak serta diukur pada 1 stasiun yang berbeda. Perhitungan nilai pada titik
tidak tampak ditambahkan dengan titik tampak dan dibagi dua. Penghitunga
tersebut dapat dinyatakan dalam rumus :
Keteranagan :
k1 = Kecerahan
samar-samar
k2 = Kecerahan tidak
terlihat
b.
Kedalaman
Pengukuran kedalaman menggunakan alat secci disk. Secci disk tersebut memasukkan kedalam sampai dasar perairan dan
kemudian dicatat hasilnya. Pengukurannya dilakukan pada 1 titik.
c.
Arus
Pengukuran
arus menggunakan bola arus. Bola arus yang terbuat dari jeruk yang telah diikat
dengan tali rafia sepanjang 1 m. Bola arus tersebut diletakkan searah dengan
aliran arus pada perairan dan kemudian dilepaskan pelan-pelan dengan masih
memegang tali ujung dengan panjang 1 m. Dihitung menggunakan stopwatch kemudian
distop sampai tali lurus 1 m.
Penghitungan
arus dapat dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
Keterangan :
v = Kecepatan arus (m/s)
S = Jarak (m)
t = waktu (s)
d.
Suhu
Pengukuran
suhu dilakukan 2 pengukuran yaitu pengukuran suhu air dan suhu udara. Mengukur
suhu menggunakan alat termometer air raksa pada 1 titik pengukuran. Memegang
tali yang telah terikat pada thermometer dan membiarkannya mengambang diudara.
Mengukur suhu air dengan cara memegang tali yang terikat pada termometer dalam
parairan dengan jarak kurang lebih 5 cm dari permukaan perairan setelah 5 menit
melihat ketelian thermometer untuk mengetahui besar suhunya.
e.
Substrat
Pada
perairan muara mengambil substrat didalam perairan untuk mengetahui bau
substrat dan warna dari substrat tersebut. Dari pengambilan substrat dilihat
dan kemudian dicatat hasilnya di papan data.
3.2.2. Parameter kimia
a. pH
Pada
pengukuran pH air alat yang digunakan adalah pH universal. Pertama-tama
dilakukan pengambilan air sampel kemudian memasukkan satu kertas pHnya kedalam
air sampel. Kemudian cocokkan warna dengan data warna pH universal agar
diketahui berapa pH perairan yang diukur.
b.
Salinitas
Mengukuran
salinitas menggunakan refraktometer. Meneteskan air sampel ke refraktometer 1
tetes kemudian ditutup dan dilihat berapa skalanya, refraktometer harus
menghadap matahari agar dapat mengetahui hasilnya.
3.2.3. Parameter Biologi
a.
Sampling Makrozoobenthos
Pada
sampling makrozoobenthos, dilakukan pengambilan biota yang ada pada perairan
dengan tiga titik yaitu pinggir, tengah dan pinggir. Biota yang diambil adalah
biota yang masih hidup. Biota yang telah didapatkan kemudian didokumentasikan
untuk melakukan identifikasi biota di hari berikutnya.
Setelah
identifikasi dilakukan maka untuk data kuantitatif biota yang diperoleh
dihitung dengan nilai-nilai diversitasnya dengan menggunakan rumus sebagai
berikut :
1. Rumus keanekaragaman jenis
Keterangan :
H = nilai keanekaragaman
Pi = ni/N
Ni =
jumlah individu spesies ke-i
S =
jumlah spesies
N
= jumlah seluruh spesies
2. Rumus keseragaman jenis
Keterangan :
E = Indeks keseragaman
H’ = Indeks keanekaragaman
Hmax=
ln S
S = Jumlah spesies
3. Indeks kemiripan
Keterangan :
Iss = Indeks Kemiripan
A = jumlah biota yang hanya ada di perairan A
B = jumlah biota yang hanya ada di perairan B
C =
biota sama yang ada di perairan A
dan B
b.
Pengamatan Vegetasi
Lingkungan
Mengamati
vegetasi ekosistem pada masing-masing ekosistem. Mengambil daun dari vegetasi
yang ada pada ekosistem yang ada. Kemudian identifikasi pada hari berikutnya
menggunakan buku identifikasi.
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
4.1.1. Parameter fisika
Tabel 3. Hasil Pengukuran Parameter Fisika
No
|
Ekosistem
|
Parameter
|
Kedalaman
|
Kecerahan
|
Arus
|
Suhu
|
Substrat
|
Air
|
Udara
|
1
|
Tambak
|
74
cm
|
24
cm
|
0,02
m/s
|
34oC
|
31oC
|
Warnya
substrat hitam, tekstur berlumpur, baunya agak menyengat.
|
2
|
Muara
|
51,67
cm
|
14,16
cm
|
10
m/s
|
33oC
|
32oC
|
Warnanya
coklat pekat, teksturnya lembut,baunya agak menyengat.
|
3
|
Sungai
|
30
cm
|
20
cm
|
0,0158
m/s
|
30oC
|
28oC
|
Berwarna
hitam, tekstur berpasir dan baunya berbau lumpur.
|
4
|
Pantai
|
110
cm
|
11
cm
|
0,0125
m/s
|
28oC
|
32oC
|
Warna
keabu-abuan, tekstur berpasir halus, baunya tidak menyengat.
|
4.1.2. Parameter Biologi
Tabel 4. Hasil Pengukuran Parameter Biologi
No.
|
Ekosistem
|
Spesies
Makrozoobentos
|
Gambar
|
Jumlah
|
1.
|
Tambak
|
Cancer
sp.
|
|
10
|
Telebralia
palustris
|
|
32
|
2.
|
Muara
|
Urosalpinx
sp.
|
|
3
|
Cancer
sp.
|
|
19
|
Anodanta
sp.
|
|
2
|
Lanjutan tabel
|
|
Calliostoma
|
|
1
|
Anadara
granosa
|
|
5
|
Littorina
sp.
|
|
1
|
Murex
sp.
|
|
2
|
Cacing
|
|
1
|
Panaeus
sp.
|
|
1
|
Lanjutan tabel.
3.
|
Sungai
|
Cancer
sp.
|
|
24
|
Lumbricus
terrestris
|
|
5
|
Anadara
granosa
|
|
2
|
4.
|
Pantai
|
Lumbricus
terristris
|
|
4
|
Panaeus
sp.
|
|
7
|
Anadara
sp.
|
|
5
|
4.2.3. Parameter Kimia
Tabel 5. Hasil Pengukuran Parameter Kimia
No.
|
Ekosistem
|
Parameter
|
DO
|
CO2
|
pH
|
Salinitas
|
1.
|
Tambak
|
-
|
-
|
10
|
31 ppt
|
2.
|
Muara
|
-
|
-
|
7
|
25
|
3.
|
Sungai
|
-
|
-
|
22 ppt
|
8
|
4.
|
Pantai
|
-
|
-
|
33 ppt
|
9
|
4.2. Pembahasan
4.2.1. Parameter fisika
a. Ekosistem Sungai
Berdasarkan pengukuran parameter fisika
yang telah dilakukan pada ekosistem sungai didapatkan hasil kecerahan 20 cm,
kedalaman 30 cm, suhu air 30 oC, suhu udara 28 oC dan
arus sebesar 0,0158 m/s, sedangkan untuk pengamatan organoleptic dari substrat
dasar perairan sungai yang kami amati diperoleh hasil yaitu berwarna hitam,
teksturnya berpasir dan berbau lumpur. Disepanjang garis sungai ditumbuhi
mangrove dan rerumputan , sungai yang kami amati terletak dipinggir jalan serta
diantara tambak warga disekelilingnya. Dijumpai banyak kapal nelayan bersandar
disepanjang sungai.
Berdasarkan analisis dai kelompok kami,
sungai yang kami amati termasuk kedalam sungai yang dangkal karena kedalamannya
hanya 20 cm. Suhu sungai yang kami amati juga tergolong baik untuk perkembangan
dan kehidupan organisme perairan. Menurut Perkins (1974) menyatakan bahwa
kisaran suhu yang dianggap layak bagi kehidupan organisme akuatik bahari adalah
2,5oC – 32 oC. Tingginya suhu pada perairan ini
disebabkan oleh kedalaman yang relative rendah.Suhu tersebut termasuk normal
walaupun pada saat pengamatan cuacanya agak sedikit mendung.Suhu pada saat
pengukuran ini juga tidak terpengaruhi oleh suhu lingkungan karena langsung
dilakukan di lokasi pengamatan.
Hasil dari penghitungan suhu terjadi
perbedaan antara suhu udara sungai dan suhu air sungai, karenaMenurut Soeyasa et al. (2001), perbedaan yang cukup besar disebabkan karena sifat air
yang lebih lama menerima, menyimpan dan melepaskan panas matahari sebagai panas
laten sehingga mampu menaikkan suhu air.
Wilayah tropis perairan, intensitas
cahaya matahari yang mencapai permukaan air pada musim kemarau lebih besar
dibandingkan dengan musim penghujan, dengan demikian intensitas cahaya yang
dipantulkan oleh permukaan air juga bervariasi menurut musim, namum tidak
sebesar pada wilayah yang memiliki empat musim.Hukum Beer mengemukakan bahwa
penyerapan cahaya oleh suatu larutan meningkat secara eksponensial
denganmeningkatnya konsentrasi larutan.Hukum Lambert juga menyatakan bahwa
penyerapan cahaya oleh suatu larutan meningkat secara eksponensial dengan
meningkatnya panjang jarak dari larutan yang harus dilewati oleh cahaya
(Tebbut, 1992).Berdasarkan hal tersebut maka intensitas cahaya yang masuk
kedalam sungai semakin berkurang dengan bertambahnya kedalaman perairan.Dengan
kata lain cahaya mengalami penghilangan atau pengurangan yang semakin besar
dengan bertambahnya kedalaman.
Kecepatan
arus di sungai relatif rendah yaitu 0,0158 m/s, karena kedalaman sungai
termasuk landai dan pada waktu pengamatan angin yang bertiup tidak terlalu
kencang. Kecepatan arus suatu badan air sangat berpengaruh
terhadap kemampuan badan air tersebut untuk mengasimilasi dan mengangkut bahan
pencemar. Pengetahuan akan kecepatan arus digunakan untuk memperkirakan kapan
bahan pencemar akan mencapai suatu lokasi tertentu, apabila bagian hulu suatu
badan air mengalami pencemaran (Effendi, 2003).
Warna perairan dari sungai yang kami
amati termasuk keruh. Warna perairan pada umumnya disebabkan oleh partikel
koloid bermuatan negatif, sehingga penghilangan warna perairan dapat dilakukan
dengan penambahan koagulan yang bermuatan positif, misalnya aluminium dan besi
(Sawyer dan McCarty, 1978).
Substrat dasar dari perairan sungai yang
kami amati berupa lumpur yang berwana kehitaman. Menurut Nybakken, 1992
menyatakan bahwa keberadaan lumpur di dasar perairan sangat dipengaruhi oleh
penggumpalan, pengendapan bahan tersuspensi tersebut seperti arus dari laut.
b. Ekosistem pantai
Lokasi pantai yang diamati mempunyai
kemiringan yang landai tanpa adanya lereng-lereng (continental shelf).Kedalaman
pada pengukuran 100 meter dari garis pantai yaitu sekitar 80 – 100 cm. Hal ini menandakan
keadaan topografi pantai tidak rata.Karena dasar perairannya berupa lumpur
berpasir yang sangat labil.
Berdasarkan pengukuran parameter fisika
yang telah dilakukan ada ekosistem laut didapatkan hasil kecerahan 11 cm,
kedalaman 110 cm, suhu air 32 C, suhu udara 28 C dan besarnya arus 8 m/s.
pengamatan organoleptic pada pengamatan substrat dasar laut adalah berwarna
keabu-abuan sampai hitam, tekstur halus berpasir dan berbau netral (tidak
menyengat).
Pantai adalah daerah pertemuan antara
daratan dan laut yang cenderung keruh.Kekeruhan menggambarkan sifat optik air
yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh
bahan-bahan yang terdapat di dalam air.Kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan
organik dan bahan anorganik yang tersuspensi dan terlarut (misalnya lumpur dan
pasir halus), maupun bahan anorganik dan organik yang berupa plankton dan
mikroorganisme lainnya.
Perpindahan panas terjadi antara udara
dengan lautan atau tanah yang ada dibawahnya yang akan dapat memberikan suatu
kenaikan tekanan atmosfer pada daerah-daerah di sekitarnya. Daerah tropik lebih
lebih banyak menerima panas daripada daerah kutub, karena sinar matahari yang
merambat melalui atmosfer akan banyak kehilangan panas sebelum sampai ke kutub.
Alasan lainnya karena besarnya perbedaan sudut datang matahari ketika mencapai
permukaan bumi, dank arena di daerah kutub lebih banyak panas yang diterima
oleh permukaan bumi yang dipantulkan kembali ke atmosfer (Hutabarat, 1985).
Kedalaman perairan akan berpengaruh
terhadap jumlah cahaya matahari yang
mencapai dasar. Pada pengukuran, tingkat
kecerahan pada pantai rata-rata 11 cm karena kedalamannya masih relatif rendah.
Kecepatan arus di pantai dipengaruhi
oleh angin dan kedalaman. Jika angin yang berhembus makin kuat maka arus yang
terjadi pun makin besar. Sedangkan pada perairan yang dangkal arus yang terjadi cukup deras.Berdasarkan
pengamatan terlihat pada setiap line kecepatan arus kecil dan cenderung sama,
yaitu 8 m/s. Hal ini disebabkan dasar perairan yang landai dan juga adanya
angin yang bertiup.
Terjadinya arus disebabkan oleh dua
faktor utama, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal seperti perbedaan densitas
air gradien tekanan mendatar dan gesekan lapisan air. Sedangkan faktor
eksternal seperti gaya tarik matahari dan bulan yang dipengaruhi oleh tahanan
dasar laut dan gaya coriolis, perbedaan tekanan udara, gaya gravitasi, gaya
tektonik dan angin ( Gross, 1990).
Ketika angin berhembus di laut, energi
yang ditransfer dari angin ke batas permukaan, sebagian energi ini digunakan
dalam pembentukan gelombang gravitasi permukaan, yang memberikan pergerakan air
dari yang kecil kearah perambatan gelombang sehingga terbentuklah arus dilaut.
Semakin cepat kecepatan angin, semakin besar gaya gesekan yang bekerja pada
permukaan laut, dan semakin besar arus permukaan. Dalam proses gesekan antara
angin dengan permukaan laut dapat
menghasilkan gerakan air yaitu pergerakan air laminar dan pergerakan air
turbulen (Supangat,2003).
Suhu udara pada saat pengamatan (siang hari) adalah 28˚C dan suhu air antara 32˚C.
Perbedaan ini disebabkan karena air mempunyai fluktuasi suhu yang relatif kecil
yaitu kemampuan untuk menyerap dan melepaskan energi panas yang lama.Substrat
dasar perairan berupa lumpur yang berasal dari muara yang terbawa arus menuju
laut dan terdapat pecahan cangkang-cangkang bivalve dan gastropoda.
c. Ekosistem muara
Berdasarkan pengukuran parameter fisika
yang telah dilakukan di muara, didapatkan hasil kecerahan 14,16 cm, kedalaman
51,67 cm, suhu air 30 oC, suhu udara 32 oC dan arus 10
m/s. Pengamatan organoleptik dari substrat dasar yang kami amati yaitu berwarna
coklat pekat hingga kehitaman, berbau agak menyengat dan mempunyai tekstur yang
lembut.
Suhu
suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang (latitude), ketinggian
dari permukaan laut (altitude), waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan
awan dan aliran serta kedalaman badan air. Perubahan suhu berpengaruh terhadap
proses fisika, kimia dan biologi dalam air. Suhu juga sangat berperan
mengendalikan kondisi ekosistem perairan.Organisme akuatik mempinyai kisaran
suhu tertentu (batas atas dan bawah) yang disukai bagi pertumbuhannya (Effendi,
2003).
Kecerahan air tergantung pada warna dan
kekeruhan.Kecerahan merupakan ukuran transparasi perairan, yang ditentukan
secara visual dengan menggunakan seccidisk yang berusaha menghitung tingakt
kekeruhan air secara kuantitatif.Tingkat kekeruhan tersebut dinyatakan dengan
suatu nilai yang dikenal dengan kecerahan seccidisk (Effendi, 2003).
Arus pada ekosistem muara mencapai 10
m/s karena cuaca pada saat itu berangin dan angina bertiup cukup
kencang.Pengaruh lainnya juga karena adanya angina dari laut dan aliran air
dari laut.Menurut Odum (1994), kecepatan arus dipengaruhi oleh angin dan kedalaman. Jika angin yang berhembus makin kuat maka
arus yang terjadi pun makin besar, sedangkan pada perairan yang dangkal arus yang terjadi cukup deras.
Hasil dari pengamatan substrat pada
ekosistem muara diperoleh data bahwa substrat dasar perairan tersebut berwarna
coklat hinga kehitaman.Menurut Kordi dan Tancung (2007), bagian muara sungai
mempunyai tebing landai dan dangkal.Badan air yang relatif dalam, airnya keruh
berwarna kecoklatan serta arusnya yang mengalir lambat.Warna perairan yang
coklat ini dipengaruhi oleh adanya sampah organik dan anorganik yang melalui
muara seperti plastik,dll.
d. Ekosistem tambak
Hasil pengukuran parameter fisika pada
ekosistem tambak yang kami amati diperoleh hasil bahwa kedalaman 74 cm, kecerahan
24 cm , suhu air 34 oC suhu udara 31oC, dan kecepatan
arus sebesar 1/50 m/s. Pengamatan organoleptik pada ekosistem tambak yang kami
amati diperoleh hasil warna hitam, teksturnya lembut agak berpasi, dan baunya
agak menyengat.
Berdasarkan analisis dari kelompok kami,
kecerahan pada tambak yang kami amati terbilang cukup rendahdan kenampakannya
keruh. Hal ini dipengaruhi olehsubstrat yang cukup berlumpur dan berwarna
hitam. Cahaya matahari yang masuk ke parairan akan mengalami penyerapan dan
perubahan energy menjadi panas. Proses penyerapan cahaya ini berlangsung lebih
intensif pada lapisan atas sehingga lapisan atas perairan memiliki suhu yang
lebih tinggi (Effendi, 2003).
Substrat
dasar ekosistem tambak adalah lumpur, sehingga mudah terjadi kekeruhan. (Brotowijoyo, 1995), kekeruhan ini menyebabkan proses fotosintesis pada
tumbuhan air tingkat rendah (fitoplankton) berjalan kurang baik karena
intensitas cahaya matahari yang masuk kurang banyak.
Kecepatan
arus pada tambak relatif kecil, yaitu 0,02 m/s.
Menurut Nonjt (1993), kecepatan arus di tambak sebagian besar dipengaruhi oleh angin laut,
topografi dasar tambak, kedalaman tambak itu sendiri, karena pada saat
pengamatan (siang hari) angin bertiup dari laut menuju tambak relatif kecil sehingga
tidak berpengaruh pada kecepatan arus tambak.
Suhu
udara saat pengamatan 31 oC dan suhu air sebesar 34oC.Suhu
air lebih besar dari suhu udara, hal ini karena udara lebih cepat menerima panas matahari dan lebih
cepat pula melepas panas. Sedang sifat
air lama menerima dan melepaskan panas
serta disimpan dalam bentuk panas laten, sehingga pada saat suhu udara mulai
turun, air masih mempunyai energi panas.
Selain itu suhu udara juga lebih
cepat berfluktuasi, oleh karena itu suhu udara bisa berubah setiap saat
sedangkan suhu air tidak.
Sumber pemasukan air tambak yang biasa
digunakan secara garis besar berasal dari air laut dan air sungai. Kondisi dan
kualitas sumber pemasukan air tersebut akan sangat menentukan kondisi dan
kualitas air tambak pada saat tertentu. Berdasarkan hal tersebut, maka kegiatan
pengelolaan kualitas air tambak sebaiknya juga mencakup kegiatan pemantauan
sumber pemasukan air sebagai dasar pengambilan keputusan terkait dengan
perlakuan teknis yang akan diterapkan.
Air laut dan air sungai sebagai perairan
umum setiap saat dapat mengalami perubahan kondisi dan kualitasnya yang
disebabkan oleh faktor lingkungan sekitarnya, cuaca, iklim maupun aktifitas
yang dilakukan oleh manusia pada perairan tersebut. Perubahan-perubahan yang
terjadi pada air laut dan air sungai tersebut jika tidak dipantau secara cermat
dapat menimbulkan permasalahan bagi kegiatan budidaya pada tambak terutama pada
kegiatan pengelolaan kualitas air tambak. Perubahan kualitas air akan
menyebabkan guncangan kualitas air tambak sekaligus guncangan terhadap
organisme yang ada di dalamnya.
4.1.2. Parameter kimia
a. Ekosistem
sungai
Hasil dari pengukuran parameter kimia yang
telah dilakukandi sungai, didapatkan hasil pH 8 dan salinitasnya 22 ppt.
Analisis dari kelompok kami mengenai pH bahwa sungai yang kami amati
menunjukkan bahwa perairan tersebut bersifat basa, menunjukkna bahwa semakin
rendah kadar karbondioksida yang bebas.
Pengukuran nilai salinitas dilakukan
untuk mengetahui konsentrasi total ion yang terdapat pada perairan tersebut.
Salinitas menggambarkan padatan total didalam air setelah semua karbonat
dikonversi menjadi oksida, semua bromide dan iodide digantikan oleh klorida dan
semua bahan organik telah dioksidasi (Effendi, 2003).
Salinitas
yang diperoleh di sungai adalah 22 ppt.
Menurut Nontji (1993), hal ini menunjukkan bahwa air di sungai memiliki
kandungan garam yang cukup besar, yang disebabkan karena adanya
percampuran air tawar dan air laut
dimana komposisi air tawar lebih banyak.
Nilai salinitas perairan tawar biasanya
kurang dari 0,5o/oo, perairan
payau antara 0,5 o/oo –30
o/oo,
dan perairan laut 30o/oo–
40 o/oo.
Pada perairan hipersaline nilai salinitas dapat mencapai kisaran 40o/oo– 80 o/oo. Pada perairan
pesisir nilai salinitas sangat dipengaruhi oleh masukan air tawar dari sungai
(Effendi,2003).
Nilai pH dari perairan ekosistem sungai
adalah 8, menunjukkan bahwa perairan tersebut bersifat basa.Menurut Brotowijoyo (1995), faktor yang mempengaruhi derajat keasaman suatu lokasi
antara lain adalah besarnya salinitas dan banyaknya curah hujan.
Mackeret et. al. berpendapat bawa pH
juga berkaitan erat dengan karbondioksida dan alkalinitas. Alkalinitas mencapai
0 apabila nilai pH< 5. Semakin tinggi nilai pH semakin tinggi pula nilaia
alkalinitas dan semakin rendah kadar karbondioksida bebas. Larutan yang
bersifat asam (pH rendah) bersifat korosif. Sebagian besar biota akuatik
sensiif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7 – 8,5. Nilai pH
sangat mempengaruhi proses biokimiawi perairan, misalnya proses nitrifikasi
akan berakhir jika pH rendah.
b. Ekosistem pantai
Hasil pengamatan parameter kimia untuk
ekosistem pantai didapatkan data bahwa salinitas dari perairan yang kami amati
sebesar 22 ppt, sedangkan untuk pengukuran pH diperoleh hasil sebesar 9.
Hasil dari
pengukuran salinitas pada ekosistem pantai sebesat 22 ppt., termasuk
mendekati ideal karena menurut Nontji (1993), salinitas yang ideal untuk
ekosistem pantai adalah lebih besar dari 17 ‰.
Salinitas suatu perairan dipengaruhi oleh adanya aliran dari laut dan
darat, curah hujan, evaporasi, pasang surut sedangkan untuk perairan pantai,
semuanya dipengaruhi oleh keempat faktor tersebut.
Derajat keasaman (pH) pada saat pengamatan adalah 9
artinya pH di lokasi tersebut
bersifat basa. Hal ini menunjukkan perairan tersebut kurang layak untuk
kehidupan biota yang ada, karena pH yang baik untuk suatu perairan adalah 6,5 -
8,5 (Odum, 1994).
c.
Ekosistem muara
Hasil dari pengamatan parameter kimia pada
ekosistem muara yaitu untuk nilai salinitas 25 ppt dan pH 7. Derajat keasaman (pH) di muara adalah 7,
artinya pH di lokasi tersebut masih netral.
Menurut Odum (1994), hal ini masih memungkinkan adanya suatu kehidupan
di daerah tersebut, walaupun kandungan O2 di daerah tersebut
rendah. Jadi biota-biota yang mampu
bertahan hidup di perairan tersebut hanyalah spesies tertentu yang dapat beradaptasi dengan lingkungan
tersebut.
Salinitas di
muara sebesar 25 ‰. Hal ini disebabkan karena pada saat pengamatan air
laut belum pasang, sehingga air laut
yang masuk ke muara relatif sedikit.
Sebagaimana dijelaskan oleh Nontji (1993), bahwa salinitas perairan
dipengaruhi oleh aliran laut dan daratan, curah hujan, evaporasi, dan pasang
surut.
d. Ekosistem tambak
Hasil dari pengamatan parameter kimia pada
ekosistem tambak yaitu nilai salinitas 31 ppt, pH 10, DO 2,30 mg/l dan turbidy
299. Pengamatan kandungan O2 terlarut(DO)
di tambak yang kami peroleh adalah2,30
mg/l hal ini karena pengamatan ekosistem tambak di lakukan pada siang hari yang
merupakan titik tertinggi suatu DO dan juga karena perairan tambak tersebut
terdapat sedikit biota, sehingga pemanfaatan DO relatif sedikit. Sedangkan kandungan CO2 bebas
sangat kecil (Odum, 1994).
Derajat keasaman (pH) di tambak adalah ,
artinya pH di lokasi tersebut bersifat basa. .
Kondisi seperti ini kurang memungkinkan adanya suatu kehidupan di daerah
tersebut.Menurut Novotny dan olem (1994) sebagian besar biota akuatik sensitive
terhadap perubahan pH dan menyukai pH sekitar 7-8,5. Nilai pH sangat
memepengaruhi proses biokimiawi perairan, misalnya proses nitrifikasi akan
beraakhir jika pH rendah. Pada pH rendah keanekaragaman plankton dan bentos
akan mengalami penurunan. Atas dasar ini maka keegiatan budidaya perairan akan
berhasil dengan baik dalam air dengan pH 6,5-9 dan kisaran optimal adalah pH
7,5-8,5.
Salinitas
di tambak yang kami dapatkan adalah sebesar 25ppt, hal ini disebabkan letak
tambak yang relatif dekat dengan lokasi pantai. Sehingga memungkinkan air laut
masuk ke perairan tambak. Menurut Nontji (1993), salinitas pada perairan tambak
dipengaruhi oleh aliran laut dan daratan, curah hujan, evaporasi, dan pasang
surut, ini mebuktikan bahwa perairan tambak termasuk perairan payau.
4.2.3.
Parameter biologi
a.
Ekosistem sungai
Pembahasan parameter biologi ini kami
mendapatkan 3 biota, yaitu kepiting (cancer sp), cacing (lumbricus sp), kerang
(anadara sp). Kepiting yang didapat pada ekosistem sungai sebanyak 24 ekor,
cacing yang didapat pada ekosistem sungai sebanyak 5 ekor dan kerang yang
didapat pada ekosistem sungai sebanyak 1 ekor,.
Kami mendapatkan lebih banyak kepiting
di ekosistem sungai karena kepiting mempunyai ciri-ciri karapaksnya berbentuk
pipih atau agak cembung dan heksagonal atau agak persegi.Ujung pasangan kaki
agak pipih dan berfungsi sebagai alat bpendayung saat berenang. Selain mendapatkan
kepiting, kami juga mendapatkan cacing dan kerang, tetapi tidak sebanyak
kepiting .
Kepiting juga bisa dikatakan atau
disebut ketam penghuni perairan tawar. Hampir semua jenis kepiting , kecuali raininoida sp, perutnya terlipat dibawah
cephalothorax. Bagian mulut kepiting ditutupi oleh maxilliped yang rata dan
bagian depan dari karapaksnya tidak membentuk sebuah rostrum yang panjang.
Insang kepiting terbentuk dari pelat-pelat yang pipih (phyllobranchias), mirip
dengan insang udang, namundengan struktu yang berbeda (Dixon, 2004).
Pada
ekosistem sungai memiliki nilai indeks keanekaragaman 0,6102, nilai tersebut
termasuk sedang. Kami menemukan biota
dari beberapa kelas seperti crustacea,
mollusca dan cacingtapi tidak menemukan tumbuhan air. Menurut Odum (1994), hal ini disebabkan karena di dalam ekosistem ini tidak
ada tumbuhan yang mampu bertahan hidup karena minimnya kandungan O2
terlarut sebagai akibat tercemarnya kondisi perairan oleh limbah rumah tangga
dan sampah anorganik.
Agar melengkapi kekurangan fisika,
kimiawidapat dilakukan dengan membudayakan komunitas makro invertebrate, yaitu
hewan yang tidak mempunyai tulang belakang dan berukuran relative tidak banyak
bergerak, mempunyai siklus hidup yang panjang dan mempunyai keanekaragaman
tinggi yang tersebar di hulu sampai di hilir sungai. Ditemukan suatu kelompok
mikroinvertebrata, mencerminkan kondisi air sungai, apakah masih baik (tidak
mengalami pencemaran orhanik tertentu), atau telah mengalami pencemaran organic
terlarut atau telah mengganggu (Sudaryanti dan Wijarni, 2006).
b. Ekosistem pantai
Hasil
dari pengamatan parameter biologi pada ekositem pantai bahwa diperoleh biota 3
jenis yaitu Lumbricus terrestris
dengan jumlah 4, Pannaeus sp dengan
jumlah 7 dan Anadara sp dengan jumlah
5. Ketiga jenis biota tersebut termasuk kedalam biota yang mampu bertahan hidup
dalam kondisi yang ekstrim. Ekstrim disini diartikan sebagai mampu berhatan
hidup dengan kurangnya kadar O2 disekitarnya.
Lumbricus
terrestris termasuk kedalam kingdong Annelida dan filum
Polycaeta. Lumbricus terrestrisdapat hidup
pada tanah yang lembab dengan membuat liang dalam tanah. Hewan ini biasanya
hidup di tempat-tempat yang teduh dan terlindung dari sinar matahari secara
langsung. Pada keadaan normal, mereka akan keluar di permukaan tanah pada malam
hari. Namun, mereka juga dapat keluar ke permukaan pada siang hari terutama
pada waktu setelah hujan.
Anadara
sp
sering disebut sebagai kerang darah karena adanya warna merah kecoklatan dari
daging Anadara.Warna ini terjaadi karena adanya haemoglobia dalam darah.Kerang darah
adalah salah satu jenis kerang yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi dan pada
umumnya sebagai sumber makanan laut di wilayah Asia Tenggara dan beberapa wilayah
Pasifik (Ulysses et al, 2009). Menurut Brotowidjoyo et al. (1995) Anadarasp banyak ditemukan di perairan
estuari dengan substrat lumpur dan pasir dengan suhu sekitar 300C akan
merangsang Anadara betina untuk bertelur.
Pantai merupakan perairan yang kaya
organisme dan beragam jenis biotanya. Misalnya dari kelas Mollusca, Crustacea,, dan Polychaeta. Hal ini tampak pada nilai indeks
keanekaragaman, yaitu 1,0709. Indeks keanekaragaman ini termasuk rendah, disebabkan karena perairan
yang sudah tercemar. Semakin tinggi nilai indeks keanekaragaman
berarti makin banyak jumlah spesiesnya (Odum, 1994).
c. Ekosistem
muara
Hasil
dari pengamatan parameter biologi pada ekosistem muara memperoleh biota yang
cukup banyak. Terdapat 9 jenis biota yaitu Urosalpinx
sp berjumlah 3,Cancer spberjumlah
19, Anadanta sp berjumlah 2, Calliostoma berjumlah 1, Anadara granosa bejumlah 5, Littoriana sp berjumlah 1, Murex sp berjumlah 2, cacing berjumlah 1
dan Pannaeus sp berjumlah 1.
Keadaan
perairan muara yang keruh dan agak tercemar, menyebabkan biota yang ditemukan
di muara relatif banyak. Nilai indeks keanekaragaman adalah 1,5434 hal ini
dikarenakan kualitas air yang buruk bagi suatu biota dan cukup memadai bagi
biota-biota tertentu. Menurut Odum (1994), Suatu perairan telah tercemar ringan
jika mempunyai indeks keanekaragaman 2-3, indeks keanekaragaman 1-2 perairan
setengah tercemar, dan 0-1 perairan telah tercemar berat.
Indeks keseragaman jenis perairan
muara yang kecil (e = 0,7025) menunjukkan bahwa penyebaran individu tiap jenis
tidak sama, karena ada kecenderungan komunitas muara didominasi oleh suatu
jenis tertentu, yaitu biota-biota yang mampu beradaptasi dengan lingkungan
muara dengan kondisi oksigen terlarut minimum.
Daerah muara adalah daerah pertemuan
antara air tawar dengan air laut.
Menurut Odum (1994), percampuran yang terjadi akan menjadikannya suatu
lingkungan yang spesifik yang berbeda dengan lingkungan aslinya, yaitu sungai
dan laut. Sehingga menyebabkan pula
tingkat spesifiki biota penyusunnya.
Daerah muara dalam keadaan normal adalah daerah yang kaya akan
kehidupan, karena unsur-unsur
hara yang berasal dari sungai dan laut terjebak di perairan ini. Arus air yang
datang membawa makanan dan udara segar yang diperlukan oleh biota-biota.
Terdapat 2 jenis biota yang
ditemukan pada ekosistem tambak, yaitu Cancer
sp 10 sebanyak dan Telebralia
palustri sebanyak 32. Nilai indeks keanekaragamannya adalah 0.614 sehingga dapat dikatakan bahwa
perairan tersebut agak tercemar karena memiliki indeks keaneragaman yang
relatif kecil.. Menurut Odum
(1994), suatu perairan telah tercemar ringan jika mempunyai indeks
keanekaragaman 2-3, indeks keanekaragaman 1-2 perairan setengah tercemar, dan
0-1 perairan telah tercemar berat.
Indeks keseragaman jenis perairan muara
yang besar (e=5,55) menunjukkan bahwa penyebaran individu tiap jenis tidak
sama. Karena menurut Odum (1994), ada kecenderungan komunitas tambak didominasi
oleh suatu jenis tertentu, yaitu biota-biota yang mampu beradaptasi dengan
kondisi lingkungan tambak.
V. KESIMPULAN
DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Kesimpulan yang didapat berdasarkan
pengamatan ekosistem sungai, ekosistem pantai, ekosistem muara dan ekosistem
tambak yang telah dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Adanya
angin dapat mempengaruhi arus pada tiap ekosistem.
2. Suhu
air dan suhu udara di pantai mengalami perbedaan yang cukup signifikan karena
air bersifat menyimpan panas.
3. Ekosistem
mangrove, pantai,
dan sungai, muara dan tambak
mempunyai keterkaitanekologis (hubungan fungsional), baik dalam nutrisi terlarut,
sifat fisik air, partikelorganik, maupun migrasi satwa, dan dampak kegitan
manusia. Oleh karena ituapabila salah satu ekosistem tersebut terganggu, maka
ekosistem yang lain jugaikut terganggu.
5.2. Saran
Saran yang didapat disampaikan
berdasarkan praktikum yang telah dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Sebaiknya
praktikan selalu berhati – hati dan selalu menggunakan alat keselamatan dalam
melakukan pengamatan pada tiap
ekosistem.
2. Hendaknya
dalam melakukan pengamatan ekosistem dilakukan secara teliti dan dengan
prosedur yang benar agar tidak terjadi kesalahan data hasil yang didapat.
3. Hendaknya selalu menjaga kebersihan setiap ekosistem
yang diamati.
4. Hendaknya tiap-tiap ekosistem yang ada harus dijaga
dan dirawat untuk menjaga keseimbangan alam dan hubungan fungsional antar tiap
ekosistem.