Tampilkan postingan dengan label PENGARUH KOTORAN AYAM. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label PENGARUH KOTORAN AYAM. Tampilkan semua postingan

Kamis, 02 Maret 2023

PENGARUH KOTORAN AYAM, BEKATUL DAN AMPAS TAHU YANG DIFERMENTASI DENGAN MENGGUNAKAN EKSTRAK LIMBAH SAYUR TERHADAP BIOMASSA DAN KANDUNGAN NUTRISI CACING SUTERA (Tubifex sp.)

PENGARUH KOTORAN AYAM, BEKATUL DAN AMPAS TAHU YANG DIFERMENTASI DENGAN MENGGUNAKAN EKSTRAK LIMBAH SAYUR TERHADAP  BIOMASSA DAN KANDUNGAN NUTRISI CACING SUTERA (Tubifex sp.)

The Effect of Chicken manure, Rice Bran and Tofu Waste That Fermented by Waste Vegetable on Biomass, Population and Nutrition Content of Sludge Worm (Tubifex sp.)

Maely Zulfia, Johannes Hutabarat*, Vivi Endar Herawati

Program Studi Budidaya Perairan, Jurusan Perikanan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro
Jl. Prof. Soedarto, SH, Tembalang, Semarang, Jawa Tengah – 50275, Telp/Fax. +6224 7474698

ABSTRAK

Cacing sutera (Tubifex sp.) merupakan pakan alami yang disenangi karena mempunyai kandungan nutrisi yang baik untuk pertumbuhan larva ikan. Selama ini, ketersediaan cacing sutera masih mengandalkan hasil pengumupulan dari alam. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui pengaruh kotoran ayam, bekatul dan  ampas tahu yang difermentasi menggunakan ekstraklimbah sayur terhadap produksi biomassa, populasi, dan kandungan nutrisi cacing sutera. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan 4 perlakuan dan masing- masing perlakuan terdiri dari 3 kali ulangan, dimana perlakuan A (bekatul 100 g/l, ampas tahu 50 g/l), perlakuan B (kotoran ayam 25 g/l, bekatul 100 g/l dan ampas tahu 50 g/l), perlakuan C (Kotoran ayam 50 g/l, bekatul 100g/l dan ampas tahu 50 g/l) dan perlakuan D (kotoran ayam 75 g/l, bekatul 100 g/l dan ampas tahu 50 g/l). Kemudian setiap perlakuan dimasukkan ke dalam 12 wadah plastik dengan ukuran 30 x 21 x 7 cm3. Media tersebut ditebari cacing sebanyak 10 g/wadah, dipelihara selama 40 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian kombinasi kotoran ayam, bekatul dan  ampas tahu yang difermentasi dengan menggunakan ekstrak limbah sayur berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap produksi biomassa, populasi dan kandungan nutrisi cacing sutera (Tubifex sp.). Perlakuan C memberikan nilai biomasa sebesar 142,34±0,59 gram, populasi sebesar 37677,42±321,18 individu dan kandungan protein sebesar 60,13±0,27%. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penggunaan kotoran ayam, bekatul dan ampas tahu yang dififermentasi menggunakan limbah sayur dapat meningkatkan produksi biomassa, populasi dan kandungan protein cacing sutera. 

Kata kunci: Tubifex sp.; kotoran ayam;  bekatul; ampas tahu; limbah sayur; fermentasi.


ABSTRACT

             Sludge worm (Tubifex sp.) is one kind of favorable  natural fish food because it has the good nutrition content for growth of fish larvae. During this time, the existence of sludge worm still relies on collection of nature. The purpose of this study the The Effect of Chicken manure, Rice Bran and Tofu Waste That Fermented by Waste Vegetable on Biomass, Population and Nutrition Content of Sludge Worm (Tubifex sp.) This research used description method with 4 treatment and 3 replicates, respectively. Those treatments were A (100 g/l rice bran, 50 g/l tofu waste); B (25g/l chicken manure, 100 g/l rice bran, 50 g/l tofu waste); C (50g/l chicken manure, 100 g/l rice bran, 50 g/l tofu waste); and D (75g/l chicken manure, 100 g/l rice bran, 50 g/l tofu waste). Theneach of treatment were placed in 12 container plastics with the size of 30 x 21 x 7  cm3. The media was stocked with sludge worm of 10 g/container and then cultured for 50 days. The results showed that the addition of chicken manure created significant effect (P<0,01) on 142,34±0,59 gram of biomass production, 37677,42±321,18 individual of population and 60,13±0,27%. of nutrition content of sludge worm (Tubifex sp.). Based on the results, it can be concluded that the addition of chicken manure, rice bran and tofu waste can increase the biomass production, population and nutrition content of sludge worm.

Keywords: Tubifex sp.; Chicken Manure; Rice Bran; Tofu Waste; Waste Vegetable; Fermentation.

* Correponding author: Johannesfpik@gmail.com



PENDAHULUAN

Kegiatan pembenihan menjadi bagian yang utama dalam kegiatan budidaya. Benih ikan membutuhkan asupan makanan yang sesuai agar pertumbuhannya dapat optimal. salah satu asupan makanan yang sering digunakan oleh pembudidaya terutama dalam kegitan pembenihan ikan yaitu cacing sutera (Tubifex sp.). Menurut Pursetyo et al. (2011), cacing sutera mempunyai peranan yang penting karena mampu memacu pertumbuhan ikan lebih cepat dibandingkan pakan alami lain seperti kutu air (Daphnia sp. atau Moina sp.), hal ini disebabkan cacing sutera mempunyai kelebihan dalam hal nutrisinya. Kandungan nutrisi yang dimiliki oleh cacing sutera adalah protein sebesar 41,1%, lemak sebesar 20,9%, serat kasar sebesar 1,3% dan kandungan abu sebesar 6,7% (Muria et al., 2012).

Kendala yang sering dialami oleh pembudidaya ikan dalam kegiatan pembenihan adalah ketidaksetersediaan cacing sutera sepanjang tahun, terutama pada saat musim hujan. Hal ini dikarenakan cacing sutera di alam terbawa oleh arus deras akibat curah hujan yang cukup tinggi (Hadiroseyani et al., 2007).  Selama ini kebutuhan cacing sutera diperoleh dari penangkapan alam, terutama dari sungai yang memiliki dasar perairan yang berlumpur dengan aliran air yang tenang dan memiliki sumber bahan organik yang tinggi         (Masrurotun, 2014). Berdasarkan permasalahan tersebut  maka budidaya cacing sutera ini perlu dikembangkan sebagai solusi untuk mengatasi ketergantungan cacing sutera hasil pengumpulan dari alam dan untuk menghasilkan cacing sutera yang lebih berkualitas.

      Chilmawati et al. (2015) menyatakan bahwa, kualitas nutrisi cacing sutera dari hasil budidaya sangat ditentukan oleh media yang akan menjadi asupan makanan cacing sutera untuk bertahan hidup selama masa pemeliharaan. Populasi dan biomassa cacing sutera juga dipengaruhi oleh ketersediaan bahan organik dan kondisi lingkungannya (Tarigan, 2014). Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa media kultur memegang peranan yang sangat penting terhadap keberhasilan budidaya cacing sutera. Oleh sebab itu salah satu media kultur yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan kotoran ayam, ampas tahu dan bekatul yang di fermentasi dengan menggunakan ekstrak limbah sayur.

        Proses fermentasi merupakan aplikasi metabolisme mikroba untuk mengubah bahan baku menjadi produk yang bernilai nutrisi tinggi (Melati, 2010).  Tujuan dari fermentasi yaitu membuat media pemeliharaan menjadi busuk dan terurai serta larut dalam air sehingga dapat digunakan sebagai makanan cacing sutera saat pemeliharaan (Suharyadi, 2012). Penggunaan ekstrak limbah sayur sebagai probiotik pengganti em4 bertujuan untuk meningkatkan kandungan nutrien dalam media kultur cacing sutera. Menurut Utama et al., (2013), ekstrak kubis dan sawi mampu berperan sebagai penyedia mikroorganisme yang berpotensi sebagai probiotik. Hal ini terjadi dikarenakan kandungan ekstrak limbah pasar sayur mengandung bakteri aktif seperti Lactobacillus sp. dan Sacaromyces. Harapan dengan dilakukannya penelitian ini yaitu, budidaya cacing sutera dapat dilakukan secara berkelanjutan, produksi cacing sutera yang dihasilkan meningkat dan memiliki biomasa serta kandungan nutrisi yang tinggi.


MATERI DAN METODE

Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif, sedangkan data diperoleh dari pengamatan langsung terhadap kejadian-kejadian dari objek yang diteliti. Pola kombinasi yang dilakukan pada penelitian ini terdiri dari 4 perlakuan dengan 3 kali ulangan, dimana 4 perlakuan ini adalah sebagai berikut:
      Perlakuan A   : Bekatul 100 g/l, ampas tahu 50 g/l
      Perlakuan B   : Kotoran ayam 25 g/l, bekatul 100 g/l dan ampas tahu 50 g/l
      Perlakuan C   : Kotoran ayam 50 g/l, bekatul 100 g/l dan ampas tahu 50 g/l
      Perlakuan D   : Kotoran ayam 75 g/l, bekatul 100 g/l dan ampas tahu 50 g/l.

             Cacing sutera digunakan sebagai hewan uji, dimana cacing sutera diperoleh dari pembudidaya cacing sutera di desa Medari, Kecamatan Ngadirejo, Temanggung. Wadah yang digunakan dalam penelitian ini berupa nampan sebanyak 12 buah dengan ukuran 30 x 7 x 21 cm, dengan volume masing-masing wadah sebesar 4.410 cm3. Padat penebaran dari masing-masing wadah yaitu sebesar 10 g/wadah (Findy, 2011). Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri timbangan elektrik, DO meter, pH meter, termometer, kran aerasi, seser, gelas plastik dan ember.

             Media kultur yang digunakan dalam penelitian ini adalah pupuk organik yang terdiri atas kotoran ayam,bekatul dan ampas tahu sutera yang telah difermentasi menggunakan ekstrak limbah sayur selama 14 hari yang dicampur dengan lumpur. Hal yang pertama dilakukan adalah memisahkan lumpur dari sampah dan organisme benthos lainnya (Febrianti, 2004). Kotoran ayam, bekatul dan ampas tahu perlu dikeringkan terlebih dahulu kemudian diayak untuk menghilangkan substrat agar tidak mengganggu pada saat masa pemeliharaan dan pemanenan. Febriyanti (2004) menambahkan bahwa kombinasi kotoran ayam dan lumpur halus sebagai campuran media budidaya cacing sutera terbukti menghasilkan populasi yang tinggi dan mencapai puncak populasi pada hari ke-40. Berdasarkan pernyataan tersebut maka penelitian ini dilakukan selama 40 hari

         Aktivasi limbah sayur dilakukan dengan cara menyiapkan  limbah sayur, molase dan air. Selanjutnya melakukan perhitungan perbandingan limbah sayur : molase : air secukupnya.  Menurut Chasim (2014), perhitungan yang dilakukan menggunakan perbandingan 1:1 yaitu 1 ml molase, 1 ml limbah sayur dan 100 ml air pelarut. Limbah sayur, molase dan air dicampur kedalam ember kemudian diaduk secara merata. Setelah itu ember ditutup rapat-rapat kemudian didiamkan selama 6 jam. Hasil analisis proksimat menunjukkan bahwa ekstrak limbah memiliki kandungan protein kasar 12,64 – 23.50% dan kandungan serat kasar 20,76 – 29,18% (Muktiani et al., 2007).

           Setiap perlakuan yaitu perlakuan A, B, C dan D di tempatkan dalam satu wadah yang berbeda. Tahap selanjutnya yaitu pencampuran antara larutan aktivasi limbah sayur  pada setiap dosis perlakuan dengan kotoran ayam, bekatul dan ampas tahu, kemudian dihomogenkan sedikit demi-sedikit hingga kalis. Jumlah penggunaan larutan yang telah diaktivasi disesuaikan menurut (Chasim, 2014) menggunakan perbandingan 1:1 bahan dan pelarut. Selanjutnya wadah ditutup rapat hingga terjadi proses fermentasi selama 15 hari (Chasim, 2014). Sebelum dicampurkan dengan lumpur ke dalam nampan, media yang telah difermentasi dihaluskan dengan cara diblender agar menghasilkan media yang halus untuk memudahkan pada saat proses pemanenan.

         Tahap selanjutnya yaitu persiapan pemeliharaan dilakukan dengan mengisi wadah uji menggunakan media kultur berupa lumpur dan bahan-bahan (kotoran ayam, bekatul dan ampas tahu) yang telah difermentasi sebelumnya. Lumpur dan  bahan tersebut, kemudian dicampurkan  merata sehingga didapatkan media kultur dengan ketinggian rata-rata 4 cm (Febriyanti, 2004). Kemudian wadah digenangi air setinggi 1 – 2 cm dari permukaan media selama 10 hari (Masrurotum, 2014). Tahap selanjutnya adalah proses penebaran cacing sutera dengan padat penebaran sebesar 10 g/wadah (Findy, 2011). Selama proses pemeliharaan, wadah pemeliharaan diberi aerasi untuk menjaga agar kualitas air tetap baik. Pemupukan ulang juga dilakukan selama masa pemeliharaan dimana dilakukan setiap 2 hari sekali. Dosis yang digunakan yaitu sebesar  11 g/wadah.

             Panen dilakukan setelah 40 hari masa pemeliharaan. Panen dilakukan dengan cara mematikan aerasi pada masing-masing nampan. Selanjutnya media kultur tersebut dipindahkan dalam gelas-gelas kecil. Aerasi dimatikan dengan tujuan agar cacing yang tersembunyi dalam media kultur dapat menggerombol dipermukaan. Pemindahan media kultur ke dalam gelas-gelas kecil dilakukan dengan tujuan memperkecil luas penampang sehingga cacing mudah untuk dipanen.


HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil
            Biomassa mutlak cacing sutera

          Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan kotoran ayam, bekatul dan ampas tahu yang difermentasi dengan menggunakan ekstrak limbah sayur memberikan pengaruuh sangat nyata (P<0,01) terhadap biomassa cacing sutera. Hasil biomassa mutlak cacing sutera tertinggi terjadi pada perlakuan C (50 g/l kotoran ayam, 100 g/l bekatul dan 50 g/l ampas tahu) yaitu sebesar 142,34±0,59 g. Sedangkan hasil biomassa mutlak terendah terjadi pada perlakuan A (tanpa kotoran ayam, 100 g/l bekatul dan 50 g/l ampas tahu) yaitu sebesar 124,95±0,41 g. Selisih antara keduanya yaitu sebesar 17,39 g.
        
           Populasi cacing sutera
    
           Hasil penelitian memperlihatkan bahwa penggunaan kotoran ayam, bekatul dan ampas tahu yang difermentasi dengan menggunakan ekstrak limbah sayur memberikan pengaruh yang sangat nyata (P,0,01) terhadap populasi cacing sutera. Nilai rata-rata populsi cacing sutera tertinggi terjasi pada perlakuan C (50 g/l kotoran ayam, 100 g/l bekatul dan 50g/l ampas tahu) yaitu sebesar 37677,42±321,18 individu. Nilai populasi terendah terjadi pada perlakuan A (tanpa kotoran ayam, 100 g/l bekatul dan 50 g/l ampas tahu) yaitu sebesar 35254,55±284,15. Selisih antara keduanya yaitu sebesar 2422,87 individu.

             Kandungan nutrisi cacing sutera

        Nilai kandungan nutrisi cacing sutera diperoleh dengan melakukan uji proksimat. Uji proksimat yang dilakukan diantaranya untuk mengetahui kadar air, protein, lemak, karbohidrat dan abu.  Pengujian dilakukan setelah panen cacing sutera secara keseluruhan. Hasil uji proksimat cacing sutera pada masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil Uji Proksimat Cacing Sutera setelah Pemeliharaan Selama 40 Hari
Perlakuan
Protein (%)
Lemak (%)
 Abu (%)
Karbohidrat(%)
Serat Kasar(%)
A
B
52,11±0,50
54,76±0,82
6,62
8,25
  11,82
   9,75
18,91
17,86
     10,55
      9,37
C
D
60,13±0,27
59,05±0,23  
9,04
7,30
   7,31
   9,99
14,97
14,76
      8,54
      8,89
                             Sumber: Laboratorium Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro

             Kandungan nutrisi cacing sutera sebelum dikultur tersaji pada Tabel 2. Data ini diperoleh untuk membandingkan hasil kandungan nutrisi cacing sutera sesudah dan sebelum dikultur.

Tabel 2. Kandungan Nutrisi Cacing Sutera Sebelum Dikultur
Kandungan Nutrisi  (%)
Nilai
Protein
50,23 ± 0,07
Lemak
5,23 ± 0,09
Karbohidrat
20,69 ± 0,04
Abu
14,80 ± 0,02
Serat Kasar
7,05 ± 0,09
                                                Sumber : Herawati et al., 2015

                Diketahui berdasarkan uji proksimat menunjukkan bahwa perlakuan C menghasilkan nilai protein tertinggi yaitu sebesar protein 60,13±0,27%, dimana perlakuan C adalah 50 g/l kotoran ayam, 100 g/l bekatul dan 500 g/l ampas tahu. Sedangkan hasil terendah pada perlakuan A yaitu protein sebesar 52,11±0,50, dimana hanya menggunakan 100 g/l bekatul dan 50 g/l ampas tahu.

             Kualitas air

          Pengukuran kualitas air dilakukan dua hari sekali setiap pagi dan sore hari. Parameter yang diukur adalah oksigen terlarut (DO), suhu, pH, dan amoniak.  Kualitas air harus diperhatikan untuk memenuhi kelangsungan hidup cacing.  Suhu, pH, DO, dan amoniak sudah memenuhi kelayakan untuk kehidupan cacing sutera. Nilai pengukuran kualitas air selama penelitian tersaji pada  Tabel 3. 

Tabel 3.  Nilai Pengukuran Kualitas Air Pemeliharaan Cacing Sutera Selama 40 Hari Penelitian.
Variabel
Kisaran
Kelayakan Menurut Pustaka
Suhu (C)
21,6 – 22,8
15 - 25 *
pH
6,7 – 7,1
5,44 - 7,48 **
DO (mg/L)
2,58 – 3,08
1,64 – 3,95 *
Amonia (mg/L)
0-0,01
<1,50***
        Keterangan: *            Findy (2011)
                               **        Masrurotun (2014)
                               ***      Shafrudin et al., (2005)

Pembahasan

Biomassa mutlak cacing sutera

Hasil biomassa tertinggi terdapat pada perlakuan C dimana media yang digunakan berupa kotoran ayam 50 g/l , bekatul 100 g/l , dan ampas tahu 50 g/l yaitu sebesar 142,34±0,59  g/wadah. Tingginya jumlah biomassa pada perlakuan C  diduga karena memiliki nilai perbandingan kandungan  bahan organik berupa N, P, dan K pada media yang tertinggi dari setiap perlakuan. Selain itu diduga juga karena nutrisi berupa protein dari perlakuan C lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Febrianti (2004) menyatakan bahwa peningkatan kualitas pupuk yang digunakan diikuti oleh peningkatan populasi dan biomassa cacing sutera yang dibudidayakan. Syam et al. (2011) juga menambahkan bahwa, tingginya bahan organik dalam media akan meningkatkan jumlah bakteri dan partikel organik hasil dekomposisi oleh bakteri sehingga dapat meningkatkan jumlah bahan makanan pada media yang dapat mempengaruhi populasi dan biomassa cacing. Diketahui bahwa kandungan bakteri dari media yang difermentasi dengan menggunakan ekstrak limbah sayur yaitu 2,1 x 1010 CFU bakteri asam laktat, 0,0244% asam asetat, 0,0017% asam butirat, 0,7997% asam laktat dengan 1,104% total asam.

 Nilai biomassa mutlak terendah diperoleh pada perlakuan A yaitu sebesar 124,95±0,41 g/wadah, dimana media yang digunakan berupa media tanpa kotoran ayam, 100 g/l bekatul, dan 50 g/l ampas tahu. Hal ini diduga karena media yang digunakan tanpa menggunakan kotoran ayam. Selain itu diduga juga kerana nilai kandungan N, P, K pada pupuk yang diberikan pada media kultur ini paling rendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Kotoran ayam memberikan pengaruh yang nyata terhadap biomassa cacing sutera karena protein pada kotoran ayam merupakan sumber nitrogen. Kotoran ayam juga mampu meningkatkan jumlah individu sebesar 60% (Suharyadi, 2012). Kotoran ayam termasuk bahan organik yang mudah larut dalam air dan memiliki kandungan nitrogen tinggi yaitu 2,94% sehingga dapat meningkatkan nutrisi tanah, nutrisi yang ada di tanah ini kemudian dimanfaatkan oleh cacing sutera untuk tumbuh dan berkembang biak (Nurfitriani, 2014). Dapat dilihat juga bahwa perlakuan A memiliki kandungan nutrisi berupa protein terendah sehingga mempengaruhi nilai biomassanya.

  Hasil dari penelitian ini memberikan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian dari Fatimah (2015) dan Chilmawati (2015). Hasil penelitian dari Fatimah (2015) dimana menggunakan media 75 g/l kotoran ayam, 100 g/l  roti afkir, 50 g/l ampas tahu yang difermentasi dengan menggunakan em4, menghasilkan biomassa tertinggi sebesar 135,95±0,64 g/wadah. Hasil dari penelitian Chilmawati (2015) dimana menggunakan media berupa 50% kotoran ayam, 35% ampas tahu dan  15% bekatul menghasilkan biomassa tertinggi sebesar 32,83±2,38 g. Hal ini menunjukan bahwa penggunaan ekstrak limbah sayur berpengaruh sangat nyata terhadap hasil biomassa dari cacing sutera. 

Populasi caicng sutera

Perlakuan C dengan media  berupa 50 g/l kotoran ayam, 100 g/l bekatul, dan 50 g/l ampas tahu menunjukan hasil populasi tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya yaitu sebesar 37677,42±321,18 ind/wadah. Hal ini diduga media pupuk berupa kotoran ayam 50 g/l, bekatul   100 g/l dan  ampas tahu 50 g/l mampu mencukupi kebutuhan makanan dan mempengaruhi pertumbuhan cacing. Selain itu, media pada perlakuan C memiliki kandungan N, P, K paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Nilai nutrisi berupa protein pada perlakuan C memiliki jumlah nutrisi berupa protein tertinggi dari perlakuan lainnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Febriyanti (2004) yang menyatakan bahwa, kualitas pupuk yang digunakan dapat membedakan kualitas bahan organik yang masuk dan jumlah bakteri yang dapat ditumbuhkan. Peningkatan kualitas pupuk yang digunakan diikuti oleh peningkatan populasi dan biomassa cacing sutera yang dibudidayakan.

 Hasil populasi terendah terdapat pada perlakuan A yaitu sebesar 35254,55±284,15 ind/wadah, dimana perlakuan yang digunakan tanpa menggunakan kotoran ayam, 100 g/l bekatul dan 50 g/l ampas tahu. Rendahnya populasi pada perlakuan A diduga karena jenis pakan yang diberikan mempunyai nilai N, P, K yang paling kecil daripada perlakuan lainnya. Hal ini juga diduga karena penambahan pupuk kandang berupa kotoran ayam akan berguna untuk bakteri berkembang hidup menjadi banyak kemudian dapat dimanfaatkan sebagai pakan oleh cacing sutera (Fajri, 2014). Herliwati (2012) juga berpendapat bahwa, pemberian kotoran ayam sebagai media tumbuh cacing rambut memberikan efek yang nyata terhadap pertumbuhan populasi cacing rambut. Pertumbuhan populasi dipengaruhi oleh makanan yang masuk ke dalam media budidaya, dimana nutrisi berupa protein pada perlakuan A merupakan nilai nutrisi terendah dari perlakuan lainnya. Hal ini diduga menyebabkan populasi pada perlakuan A memberikan hasil yang terendah.

Populasi cacing sutera dalam penelitian ini memberikan hasil yang sangat tinggi, dimana setelah dilakukan pemeliharaan selama 40 hari memberikan peningkatan sebanyak 10 kali lipat dari populasi awal. Hal ini diduga karena pada saat penebaran awal cacing sutera, cacing yang digunakan tidak dalam masa tumbuh yang sama (umur yang berbeda-beda). Fakta ini memungkinkan bahwa cacing yang dipelihara bereproduksi dalam waktu yang berbeda-beda pula sehingga menghasilkan hasil populasi yang tinggi pada hari ke-40 masa pemeliharaan. Selain itu, Muliasari (1993) berpendapat bahwa cacing sutera  memiliki fekunditas sebesar 92 – 340 butir dan memiliki siklus hidup yang relatif pendek yaitu 40 – 52 hari, sehingga memungkinkan tingginya populasi cacing sutera.

Hasil dari penelitian ini memberikan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian dari Fatimah (2015). Hasil penelitian dari Fatimah (2015) menghasilkan populasi tertinggi sebasar 28499,17±200,01 ind/wadah, dimana media yang digunakan yaitu 75 g/l kotoran ayam, 100 g/l  roti afkir dan 50 g/l ampas tahu yang difermentasi dengan menggunakan EM-4. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan ekstrak limbah sayur berpengaruh terhadap hasil dari populasi cacing sutera, dimana bakteri penyusun dari ektrak limbah sayur berbeda dengan bakteri penyusun EM-4. Ekstrak limbah sayur mengandung 2,1 x 1010 CFU bakteri asam laktat, 0,0244% asam asetat, 0,0017% asam butirat, 0,7997% asam laktat dengan 1,104% total asam. Sedangkan EM-4 mengandung bakteri asam laktat (Lactobacillus sp.), Jamur fermentasi (Saccharomyces sp.), bakteri fotosintetik (Rhodopseudomonas sp.), dan Actinomycetes (Munawaroh et al., 2013).

Kandungan nutrisi cacing sutera

Kandungan nutrisi protein pada cacing sutera yang terbaik adalah pada perlakuan C yaitu berupa 50 g/l kotoran ayam, 100gr/l bekatul, dan 50gr/l ampas tahu dengan nilai sebesar 60,13±0,27 %. Tingginya kandungan protein pada perlakuan C diduga karena pupuk fermentasi pada media kultur C memiliki kandungan N, P, K yang lebih tinggi dari perlakuan lainnya. Rendahnya kandungan protein dan lemak dalam penelitian ini dikarenakan kandungan nutrien yang ada dalam media kultur tersebut, dimana semakin tinggi kandungan nitrat fosfat maka akan semakin tinggi kandungan protein dan semakin rendah kandungan lipidnya (Herawati, 2015).

Syam et al. (2011) menyatakan bahwa cacing dari famili Tubificidae memakan bakteri dan partikel organik hasil perombakan oleh bakteri. Bakteri tersebut membutuhkan nutrien untuk menunjang pertumbuhannya. Nutrisi berupa protein yang dihasilkan dari perlakuan C merupakan nilai nutrisi terendah. Bakteri yang digunakan dalam penelitian ini adalah yaitu berasal dari ekstrak limbah sayur berupa Lactobacillus sp. dan Sacaromyces. Jumlah bakteri dalam ekstrak limbah sayur yaitu sebesar 2,1 x 1010 CFU bakteri asam laktat, 0,0244% asam asetat, 0,0017% asam butirat, 0,7997% asam laktat dengan 1,104% total asam. Sedangkan EM-4 mengandung bakteri asam laktat (Lactobacillus sp.) sebesar 1x108 CFU, Jamur fermentasi (Saccharomyces sp.)   sebesar 1x106 CFU (Javaid and Bajwa, 2010).

Kandungan nutrisi terendah diperoleh pada perlakuan A yaitu tanpa kotoran ayam, 100 g/l bekatul dan 50 g/l ampas tahu dengan hasil sebesar 60,13±0,27%.  Hal ini diduga kerena nilai N P K dari perlakuan A memiliki nilai terendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Nutrisi yang didapat hanya bersumber dari bekatul dan ampas tahu. Nilai nutrisi berupa protein yang didapatkan dari perlakuan A merupakan nilai nutrien terendah dari setiap perlakuan. Hasil analisa proksimat dari kandungan nutrisi cacing sutera dibandingkan dengan sebelum dikutur dengan kotoran ayam, bekatul dan ampas tahu yang difermentasi menggunakan ekstrak limbah sayur mengalami peningkatan, yaitu meningkat dari 50,23% menjadi 60,13±0,27%.

Proses fermentasi merupakan proses penyederhanaan partikel bahan pakan menjadi partikel yang lebih sederhana sehingga dapat mudah diserap dan dapat meningkatkan nilai gizi dan kualitas dari bahan yang difermentasi (Chilmawati et al., 2015). Pernyataan tersebut berkaitan dengan hasil yang diperoleh antara sebelum dan sesudah dikultur dengan media yang telah difermentasi. Hasil penelitian ini memberikan nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian dari   Fatimah (2015) dimana hasil protein tertinggi yaitu sebesar 56.08±0.57%. media yang digunakan oleh Fatimah (2015) yaitu kotoran ayam, roti afkir yang difermentasi dengan EM-4. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan kotoran ayam, bekatul dan ampas tahu yang difermentasi dengan menggunakan ekstrak limbah sayur berpengaruh terhadap kandungan nutrisi cacing sutera.

Kualitas air

Air merupakan lingkungan sebagai media hidup cacing sutera yang memegang peranan penting bagi pertumbuh dan perkembangan cacing sutera.  Kualitas air merupakan salah satu faktor eksternal yang harus dipertahankan agar selalu dalam kondisi optimum. Variabel kualitas air yang diamati antara lain suhu, pH, DO dan ammonia. Selama masa pemeliharaan cacing sutera didapatkan kualitas air yaitu suhu berkisar antara 21,6 – 22,8 oC.          Menurut Findy (2011), suhu yang sesuai untuk pertumbuhan cacing sutera yaitu berkisar 15 – 25 oC, menunjukkan bahwa kualitas suhu media kultur selama penelitian  dalam kisaran sesuai untuk pertumbuhan cacing sutera. Nilai pH selama penelitan berkisar antara 6,7 – 7,1. Data tersebut sesuai dengan pendapat Masrurotun (2014) yang menyatakan bahwa kisaran optimum pemeliharaan cacing sutera adalah 5,44 - 7,48.

Data DO selama masa pemeliharaan 40 hari cacing sutera adalah 2,58 – 3,08 mg/l. Nilai tersebut dianggap layak karena sesuai dengan pendapat Findy (2011) yang menyatakan bahwa nilai DO yang baik untuk pemeliharaan cacing sutera adalah 1,64 – 3,95 mg/l. Sedangkan data yang diperoleh untuk amonia adalah amonia 0 - 0,01 mg/l. Hal tersebut menunjukkan bahwa media pemeliharaan cacing sutera selama penelitian dalam kisaran sesuai dimana sesuai dengan pendapat Safrudin et al. (2005) bahwa nilai Amonia yang baik untuk pemeliharaan cacing sutera adalah <1,50 mg/l.


KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

     Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Pengkayaan media kultur melalui dengan kombinasi kotoran ayam, bekatul dan ampas tahu yang difermentasi menggunakan limbah sayur berpengaruh nyata terhadap produksi biomassa, populasi dan kandungan nutrisi pada budidaya cacing sutera (Tubifex sp.)
2.   Media kultur yang terbaik untuk produksi biomassa, populasi dan kandungan nutrisi cacing sutera yaitu pada perlakuan C (kotoran ayam 50gr/l , bekatul 100gr/l , dan ampas tahu 50gr/l). Sedangkan hasil terendah untuk produksi biomassa, populasi dan kandungan nutrisi cacing sutera yaitu pada perlakuan A (tanpa kotoran ayam, 100 gr/l bekatul, dan 50 gr/l ampas tahu).


Saran

      Saran yang dapat diberikan setelah penelitian ini adalah perlu dilakukannya penelitian lanjutan tentang pemberian cacing sutera sesuai perlakuan C pada larva ikan hias maupun konsumsi untuk mengetahui pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan kelulushidupan larva.

Ucapan Terima Kasih

Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Ir. Johannes Hutabarat selaku pembimbing I dan Dr. Vivi Endar Herawati, S.Pi., M.Si selaku pembimbing II. Pada kesempatan kali ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Kis Dewantoro selaku pembimbing lapangan dalam penelitian ini. Tidak lupa, kepada teman-teman semua yang telah membantu dalam proses penyelesaian penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA
Chasim, N. 2014. Optimalisasi Pertumbuhan dan Kelulushidupan Larva Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Dengan Pemberian Pakan Daphnia sp. yang Dikultur Massal Menggunakan Pupuk Organik yang Difermentasi EM4. [Skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro, Semarang, 89 hlm.
Chilmawati, D. Suminto, T. Yuniarti. 2015. Pemanfaatan Fermentasi Limbah Organik Ampas Tahu, Bekatul Dan Kotoran Ayam Untuk Peningkatan Produksi Kultur Dan Kualitas Cacing Sutera (Tubifex sp.). Laporan Penelitian. Program Studi Budidaya Perairan, Jurusan Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro. 16 Hlm.
Fajri, W.N., Suminto, J. Hutabarat. 2014. Pengaruh Penambahan Kotoran Ayam, Ampas Tahu Dan Tepung Tapioka Dalam Media Kultur Terhadap Biomassa, Populasi Dan Kandungan Nutrisi Cacing Sutera (Tubifex sp.). Journal of Aquaculture Management and Technology . 3(4):101-108.
Fatimah, N. 2015. Pengaruh Kombinasi Pupuk Organik Kotoran Ayam, Roti Afkir dan Ampas Tahu Terhadap Biomassa dan Kandungan Nutrisi Cacing Sutera (Tubifex sp.). [Skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro, Semarang. 63 hlm.
Febriyanti, D. 2004. Pengaruh Pemupukan Harian dengan Kotoran Ayam terhadap Pertumbuhan Populasi dan Biomassa Cacing Sutera (Limnodrillus). [Skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor, Bogor, 46 hlm.
Findy, S. 2011. Pengaruh Tingkat Pemberian Kotoran Sapi Terhadap Pertumbuhan Biomassa Cacing Sutera. [Skripsi]. Departemen Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 33 Hlm.
Hadiroseyani, Y., Nurjanah dan D. Wahjuningrum 2007. Kelimpahan Bakteri dalam Budidaya Cacing Limnodrilus sp. Yang Dipupuk Kotoran Ayam Hasil Fermentasi. Departemen Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Jurnal Akuakultur. 6(1), hal: 78-79.
Herawati, V.E., J. Hutabarat, Sarjito, R.A. Nugroho, Darmanto. 2015. Performa Pertumbuhan, Biomassa dan Kandungan Nutrisi Tubifex sp. Yang Dikultur Massal Menggunakan Fermentasi Berbagai Limbah Industri. [Prpsiding]. Seminar Nasional Kelautan X. Universita Hang Tuang. Surabaya. 8 Hlm.
Javaid A., R. Bajwa. 2010. Field evaluation of eff ective microorganisms (EM ) application for growth, nodulation, and nutrition of mung bean. Turkey Journal Agriculture 35(2011):443-453.
Masrurotun, Suminto, J.Hutabarat. 2014. Pengaruh Penambahan Kotoran Ayam, Silase Ikan Rucah Dan Tepung Tapioka Dalam Media Kultur Terhadap Biomassa, Populasi Dan Kandungan Nutrisi Cacing Sutera (Tubifex Sp.). Journal of Aquaculture Management and Technology. 3(4): 151-157.
Melati, I., Z. I. Azwar dan T. Kurniasih. 2010. Pemanfaatan Ampas Tahu Terfermentasi sebagai Substitusi Tepung Kedelai dalam Formulasi Pakan Ikan Patin. [Prosinding] Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010, hal. 713-719.
Muktiani, A., J. Achmadi, B.I.M. Tampoebolon dan R. Setyorini. 2013. Pemberian Silase Limbah Sayuran Yang Disuplementasi Dengan Mineral Dan Alginat Sebagai Pakan Domba. Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan, Universitas Diponegoro. Semarang . Jurnal ITP 2(3):144 – 151.
Muliasari. 1993. Pengaruh Pemberian Cacing Rambut (Tubifex sp.) dan Daging Ikan Nila (Oreochromis niloticus) dengan Tingkat Perbandingan yang Berbeda terhadap Pertumbuhan Benih Ikan Sidat (Anguilla bicolor). [Skripsi]. Program Studi Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Munawaroh,U., Mumu S., dan Kancitra P. 2013. Penyisihan Parameter Pnecemaran Lingkungan pada Limbah Cair Industri Tahu Menggunakan Efektif Mikroorganisme 4 (EM4 seta Pemanfaatannya. Jurnal Institut Teknologi Nasional Vol.1 No. 2. Hal 1 – 12.
Muria, E S, E. D. Masithah dan S Mubarak. 2012. Pengaruh Penggunaan Media dengan Rasio C:N yang Berbeda terhadap Pertumbuhan Tubifex. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Airlangga, 2 hlm (Abstrak).
Nurfitriani, L. Suminto dan J. Hutabarat. 2014. Pengaruh Penambahan Kotoran Ayam, Ampas Tahu Dan Silase Ikan Rucah Dalam Media Kultur Terhadap Biomassa, Populasi Dan Kandungan Nutrisi Cacing Sutera (Tubifex sp.).  Journal of Aquaculture Management and Technology 3(4) :109-117.
Pursetyo, K. T., W. H. Satyantini dan A. S. Mubarak. 2011. Pengaruh Pemupukan Ulang Kotoran Ayam Kering terhadap Populasi Cacing Tubifex tubifex. Jurnal Perikanan dan Kelautan. 3 (2) :177-182.
Shafrudin, D., W. Efiyanti, Widanami. 2005. Pemanfaatn Ulang Limbah Organik dari Substrak Tubifex sp. Di Alam. Jurnal Akuakultur Indonesia. 4(2): 97-102.
Suharyadi, 2012. Studi Penumbuhan Produksi Cacing Sutera (Tubifex sp.) dengan Pupuk yang Berbeda dalam Sistem Resirkulasi. [Skrpsi]. Universitas Terbuka. Jakarta. 116 Hlm.
Syam F. S, G. M. Novia. Dan S. N. Kusumastuti. 2011. Efektivitas Pemupukan dengan Kotoran Ayam dalam Upaya Peningkatan Pertumbuhan Populasi dan Biomassa Cacing Sutera Limnodrilus sp. Melalui Pemupukan Harian dan Hasil Fermentasi. Jurnal Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor, Bogor, 8 Hlm.
Tarigan, R.P. 2014. Laju Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Benih Ikan Botia (Chromobotia macracanthus) dengan Pemberian Pakan Cacing Sutera (Tubifex sp.) yang Dikultur dengan Beberapa Jenis Pupuk Kandang. [Skrpsi]. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas  Sumatera Utara. 67 Hlm.
Utama, C.S., B. Sulistyanto, Nyoman S, and B. Etza. 2013. Utility of Rice Bran Mixed With Fermentation Extract With Vegetables Waste Unconditioned as Probiotics From Vegetables Market. Journal of Scienc and Engine,4(2):97-102.

Apa yang terjadi pada semua bagasi penumpang yang disimpan di pesawat yang diterbangkan ke menara kembar World Trade Center?

Apa yang terjadi pada semua bagasi penumpang yang disimpan di pesawat yang diterbangkan ke menara kembar World Trade Center? Koper dan baran...